Sabtu, 12 Mei 2012

4. manusia dan tanggung jawab



Tanggungjawab Orang Tua dalam Keluarga


1-keluarga
Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil yang terbentuk oleh ikatan dua orang dewasa yang berlainan jenis kelamin, wanita dan pria serta anak-anak yang mereka lahirkan. Dalam kelompok ini arus kehidupan dikemudikan oleh orang tua. Alam mempercayakan pertumbuhan serta perkembangan anak pada mereka. Fungsi keluarga yang utama ialah mendidik anak-anaknya.
Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga. Orang tuadikatakan pendidik pertama karena dari merekalah anak mendapatkan pendidikan untuk pertama kalinya dan dikatakan pendidik utama karena pendidikan dari orang tua menjadi dasar bagi perkembangan dan kehidupan anak dikemudian hari.
Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Dalam keluarga umumnya anak ada dalam hubungan interaksi yang intim. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral, dan pendidikan anak.
Pengertian mengasuh anak adalah mendidik, membimbing dan memeliharanya, mengurus makanan, minuman, pakaian, kebersihannya, atau pada segala perkara yang seharusnya diperlukannya, sampai batas bilamana si anak telah mampu melaksanakan keperluannya yang vital, seperti makan, minum, mandi dan berpakaian.
Anak lahir dalam pemeliharaan orang tua dan dibesarkan dalam keluarga. Orang tua bertugas sebagai pengasuh, pembimbing, pemelihara, dan sebagai pendidik terhadap anak-anaknya. Setiap orang tua pasti menginginkan anak-­anaknya menjadi manusia yang pandai, cerdas dan berakhlakul karimah. Akan tetapi banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa cara mereka mendidik membuat anak merasa tidak diperhatikan, dibatasi kebebasannya, bahkan ada yang merasa tidak disayang oleh orang tuanya. Perasaan-perasaan itulah yang banyak mempengaruhi sikap, perasaan, cara berpikir, bahkan kecerdasan mereka.
Keluarga adalah koloni terkecil di dalam masyarakat dan dari keluargalah akan tercipta pribadi-pribadi tertentu yang akan membaur dalam satu masyarakat. Lingkungan keluarga acapkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal yang mempengaruhi berbagai aspek perkembangan anak. Adakalanya ini berlangsung melalui ucapan-ucapan, perintah-perintah yang diberikan secara langsung untuk menunjukkan apa yang seharusnya diperlihatkan atau dilakukan anak. Adakalanya orang tua bersikap atau bertindak sebagai patokan, sebagai contoh agar ditiru dan apa yang ditiru akan meresap dalam dirinya. Dan menjadi bagian dari kebiasaan bersikap dan bertingkah laku atau bagian dari kepribadiannya. Orang tua menjadi faktor terpenting dalam menanamkan dasar  kepribadian tersebut yang turut menentukan corak dan gambaran kepribadian seseorang setelah dewasa.
Dari uraian di atas, inti utamanya adalah bahwa orang tua memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keluarganya masing-masing mengingat perintah Allah SWT dalam firman-Nya :
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (Q.S. at Tahrim : 6)
Opini : orang tua mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap keluarga, terutama kepada anak – anaknya, mereka wajib mengasuh, membimbing, memelihara, dan mendidik terhadap anak-anaknya supaya anak tersebut menjadi anak yang berguna untuk semua. Namun sebagai seorang anak, kita tidak boleh melawan perkataannya, menykiti hatinya, kita harus membuat orang tua kita bahagia atas kehadiran kita, supaya semua yang telah dilakukan selama bertahun – tahun terhadap kita tidak sia – sia. Dan tumbulah menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua.

3. manusia dan penderitaan



DI BALIK KEHIDUPAN PENGEMIS MALIOBORO

7 05 2012
DI  BALIK  KEHIDUPAN
  PENGEMIS  MALIOBORO
Berita Utama
Keindahan kota Jogja, khususnya di daerah Malioboro sebagai jantuk perekonomiankota Jogja yang di bilang sangat maju dengan pertumbuhan yang sangat pesat. Namun apabila kita amati, tak sedikit para pengemis duduk di depan emperan toko atau bahkan di tepi trotoar untuk meminta-minta, sungguh ironi, Kenapa mereka meminta-minta ? Bagaimanakan kehidupan pengemis sebenarnya ?      
         “Kami ingin bebas! Kami ingin bebas dari ketidakadilan, kemiskinan, lapar dan rasa takut! Kami ingin bebas dari perlakuan sewenang-wenang! Kami berharap untuk bisa berbahagia!”,tutur pria yang sering di sapa Slamet. Seorang pengemis yang sering mangkal di kawasan maliobori ini mejelaskan bahwa, kebebasan kami hanya dapat diperoleh bila orang di sekitar kami merasa bebas.
          Kami hanya dapat merasa bahagia apabila orang disekitar kami pun merasa bahagia. Kami hanya bisa nyaman, apabila orang-orang yang kami temui dan kami lihat di dunia ini merasa nyaman. Dan kami hanya dapat makan dengan nyaman apabila orang lain juga dapat merasa nyaman dengan makan seperti kami. Dan untuk alasan tersebut, dari diri kami sendiri, kami memberontak menantang setiap bahaya yang mengancam kebahagiaan dan kebebasan kami”, tegasnya .
            Pria yang hampir separuh baya ini menjelaskan bahwa, Ketika ada razia, bukannya di rehabilitasi dengan baik untuk mendapat perlindungan, Namun yang diberikan pada kawan-kawan pengemis  adalah Sat Pol PP sering melakukan tindakan razia dengan kekerasan, terutama di wilayah Kotamadya Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Sampai saat ini”, tuturnya
        “Berdasarkan info yang saya tahu dari kawan-kawan pengemis, ada  kawan-kawan pengemis yang dirazia oleh Sat Pol PP Sleman dan Jogja, dimana  mereka  mengaku mengalami kekerasan fisik (dipukuli), digabur (dilepas sembarang tempat) di daerah Besi dan Kalasan, dan bahkan ada yang uang hasil meminta-mintanya di ambil oleh petugas sat pol PP.
            Di tempat terpisah, Salah seorang pengakuan  pengemis, Sumiyati ( 69 tahun ), di usianya yang telah senja, ia menjelaskan bahwa sebuah keterpaksaan ketika dirinya menjadi pengemis, karena dirinya tak punya pilihan lain selain menjadi seorang pengemis. Fisiknya yang sudah rentang, mengharuskan dia menjadi seorang pengemis.
      Tiap harinya Sumiyati, tidur di pasar Bregharjo, bersama buruh gendong, dan juga pengemis yang lain. Nenek yang mengemis sejak 5 tahun yang lalu, mengaku bahwa sehari rata-rata dirinya hanya mendapat 6 ribu – 8 ribu, dan untuk makan sehari-hari, dirinya hanya membeli nasi bungkusan seribuan.
       Sumiyati, “Saya ingin pemerintah adil dalam menangani masalah pengemis seperti saya, yang saya tahu, bahwa  tiap warga negara berhak untuk mendapatkan penghidupan yang layak, namum pada kenyataannya saya sama sekali tidak medapat keadilan, saya merasa sekarang hidup tidak adil, karena yang kaya semakin kaya, dan yang miskin seperti saya semakin terpinggirkan”
      Nenek asli Surabaya ini mengaku, bahwa dirinya Pernah sekali di razia, namun dirinya sangat tidak betah tinggal di  tempat rehabilitas, karena terlalu banyak aturan, sedangkan saya ini sudah tua, saya ingin hidup tenang dan lebih senang seperti sekaran ini”, tuturnya dengan pasrah.
        Di tempat terpisah, Slamet kembali menjelaskan bahwa, Pemerintah juga mengalami kegagalan dengan berbagai proyek-proyek yang seringkali atas nama rehabilitasi, Sebagai contoh, pengalaman kawan-kawan saya yang sering terkena razia kemudian dibawa ke panti sosial, bahkan mereka selau mengalami kekerasan fisik dan psikis, mereka di panti sosial tidak ada pemberdayaan sama sekali, bahkan mengalami nasib yang sangat menyedihkan dan diperlakukan sewenang-wenang, seperti saat di panti sosial kawan-kawan dicampur dengan orang-orang yang mengalami permasalahan dengan kegilaan.
      Kalaupun ada rehabilitasi berupa pemberdayaan, hal ini banyak sisi kelemahannya karena kawan-kawan setelah program pemberdayaan selesai maka urusan dinas sosial pun selesai, mereka tetap dibiarkan dan tersingkir dari arena kompetisi kerja. Indikator kegagalan program rehabilitasi yang lain bisa terlihat dari pengemis jalanan yang sudah berkali-kali terkena razia, berkali-kali masuk panti sosial namun mereka tetap kembali mencari rezeki di jalanan, bahkan jumlah penduduk yang mengalami kemiskinan  dan memilih mengais rezeki dari jalanan semakin besar. Artinya, ini ada fakta-fakta yang seharusnya bisa membuka mata para pejabat  dan bisa berkoreksi !, tegasnya.
       Namun di sisi lain, ketika  masyarakat Jogja bicara soal pengemis, banyak yang mengalami Pro dan Kontra atas keberadaan pengemis di kawasan Malioboro. Sebut saja Bram, mahasiswa UMY ini menggagap bahwa, Saya merasa tidak begitu terganggu dengan adanya pengemis di sekitar malioboro, karena saya merasa bahwa mereka juga manusia, dan saya yakin bahwa mereka mengemis karena mereka tidak punya pilihan lain. Mahasiswa yang akan  merampungkan skipsinya ini kembali menegaskan bahwa,
       Seharusnya mereka di rehabilisasikan, di beri ketrampilan, dan lebih baik lagi apabila mereka di beri pinjaman modal untuk buka usaha kecil-kecilan sesuai dengan bakat mereka masing-masing, tegas Bram (24) Mahasiswa Universitas Muhamadiyah Yogyakarta.
      Pendapat lain, di tuturkan oleh Tutut (14) siswi SMP 1 Bangun Papan, Jogja,  “Sangat Terganggu!”, adalah jawaban pertama ketika di tanya soal keberadaan pengemis di sekitar kawasan Malioboro. Saya di satu sisi kadang juga kasihan, namun disisi lain saya sangat terganggu dengan keberadaan pengemis di kawasan Malioboro, karena bagi saya malioboro merukapan salah satu icon objek wisata kota Jogja, yang harus di jaga kebersihannya!, tegasnya dengan wajah polos. “Menutut saya, pemerintah DIY harus lebih tegas dalam menangani masalah pengemis, karena bagaimanapun juga, ini sangat mengganggu ketenangan dan kenyamanan pengunjung, tegasnya.
      Sekilas kehidupan pengemis dan juga tanggapan dari masyarakat Jogja di atas. Akankah Pemerintah DIY akan tinggal diam dalam menangani masalah ini? Kita tunggu saja !!
Profil Pengemis
KETIKA  PENGEMIS  BERBICARA

Berita pendukung
            Tua dan Rentang, adalah kesan pertama  ketika melihat sosok nenek tua, di pojok trotoar Malioboro, Dengan wajah kusamnya, nenek tua itu duduk sambil menunggu orang yang lalu-lalang, dan berharap memberinya uang. Sungguhkan ia seorang pengemis atau perampok bertopeng pengemis ?, bagaimana ketika pengemis itu bicara ?

             Sumiyati ( 69 tahun ), di usianya yang telah senja, ia menjelaskan bahwa sebuah keterpaksaan ketika dirinya menjadi pengemis, karena dirinya tak punya pilihan lain selain menjadi seorang pengemis. Fisiknya yang sudah rentang, mengharuskan dia menjadi seorang pengemis.
        Nenek asli Surabaya ini, mengaku bahwa dirinya sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi, suaminya yang telah meninggal sejak tahun 2005 lalu, dan dirinya juga tidak memiliki anak, bahkan sodara laki-laki satu-satunya pun telah meninggal sepuluh tahun yang lalu.
           Tiap harinya Sumiyati, tidur di pasar bregharjo, bersama buruh gendong, dan juga pengemis yang lain. Nenek yang mengemis sejak 5 tahun yang lalu, mengaku bahwa sehari rata-rata dirinya hanya mendapat 6 ribu – 8 ribu, dan untuk makan sehari-hari, dirinya hanya membeli nasi bungkusan seribuan. Dirinya bersyukur, tidak sakit-sakitan, walaupun dia harus kedinginan dan tidak memiliki apa-apa, namum dia berusaha menjaga dirinya yang ringkih dengan sabuah selendang pemberian orang pada saat hari raya idul fitri tahun lalu.
          Nenek yang  tiap harinya  muali mangkal di tepi trotoar Malioboro ini mengaku bahwa ia mulai mengemis dari jam 3 sore hingga 10 malam, namum bila hari jumat, ia mulai mengemis dari jam 10 pagi hingga 5 sore.
          Pernah sekali di razia, namun dirinya mengaku sangat tidak betah tinggal di  tempat rehabilitas, karena terlalu banyak aturan, sedangkan saya ini sudah tua, saya ingin hidup tenang dan lebih senang seperti sekaran ini”, tuturnya dengan pasrah.
          Sumiyati, “saya ingin pemerintah adil dalam menangani masalah pengemis seperti saya, yang saya tahu, bahwa  tiap warga negara berhak untuk mendapatkan penghidupan yang layak, namum pada kenyataannya saya sama sekali tidak medapat keadilan, saya merasa sekarang hidup tidak adil, karena yang kaya semakin kaya, dan yang miskin seperti saya semakin terpinggirkan”, katanya dengan berlinangkan air mata.
         “Bila melihat teman-teman yang lain, seperti buruh gendong di pasar Brengharjo, saya juga merasa ingin seperti mereka, namun tubuh saya yang rentang tak mungkin lagi mampu mengangkat beban berat seperti mereka, terangnya.
         Saya juga merasa kasihan dengan teman-teman pengemis yang senasip dengan saya, Jadi saya berharap, jangan ada lagi pengemis seperti saya, karena saya tidak ingin ada orang lain yang merasakan penderitaan seperti saya sekarang ini . Tegasnya dengan rauk muka penuh kesenduan.