DI
BALIK KEHIDUPAN PENGEMIS MALIOBORO
7 05 2012
DI
BALIK KEHIDUPAN
PENGEMIS MALIOBORO
Berita Utama
Keindahan kota Jogja, khususnya
di daerah Malioboro sebagai jantuk perekonomiankota Jogja yang di bilang sangat maju
dengan pertumbuhan yang sangat pesat. Namun apabila kita amati, tak sedikit
para pengemis duduk di depan emperan toko atau bahkan di tepi trotoar untuk
meminta-minta, sungguh ironi, Kenapa mereka meminta-minta ? Bagaimanakan
kehidupan pengemis sebenarnya ?
“Kami ingin bebas! Kami ingin bebas dari ketidakadilan, kemiskinan, lapar dan rasa
takut! Kami ingin bebas dari perlakuan sewenang-wenang! Kami berharap untuk
bisa berbahagia!”,tutur pria yang sering di sapa Slamet. Seorang pengemis yang
sering mangkal di kawasan maliobori ini mejelaskan bahwa, kebebasan kami hanya
dapat diperoleh bila orang di sekitar kami merasa bebas.
Kami hanya dapat merasa bahagia apabila orang disekitar kami pun merasa
bahagia. Kami hanya bisa nyaman, apabila orang-orang yang kami temui dan kami
lihat di dunia ini merasa nyaman. Dan kami hanya dapat makan dengan nyaman
apabila orang lain juga dapat merasa nyaman dengan makan seperti kami. Dan
untuk alasan tersebut, dari diri kami sendiri, kami memberontak menantang
setiap bahaya yang mengancam kebahagiaan dan kebebasan kami”, tegasnya .
Pria yang hampir separuh baya ini menjelaskan bahwa, Ketika ada razia, bukannya
di rehabilitasi dengan baik untuk mendapat perlindungan, Namun yang diberikan
pada kawan-kawan pengemis adalah Sat Pol PP sering melakukan tindakan
razia dengan kekerasan, terutama di wilayah Kotamadya Yogyakarta dan Kabupaten
Sleman. Sampai saat ini”, tuturnya
“Berdasarkan info yang saya tahu dari kawan-kawan pengemis, ada
kawan-kawan pengemis yang dirazia oleh Sat Pol PP Sleman dan Jogja,
dimana mereka mengaku mengalami kekerasan fisik (dipukuli), digabur
(dilepas sembarang tempat) di daerah Besi dan Kalasan, dan bahkan ada yang uang
hasil meminta-mintanya di ambil oleh petugas sat pol PP.
Di tempat terpisah, Salah seorang pengakuan pengemis, Sumiyati ( 69 tahun
), di usianya yang telah senja, ia menjelaskan bahwa sebuah keterpaksaan ketika
dirinya menjadi pengemis, karena dirinya tak punya pilihan lain selain menjadi
seorang pengemis. Fisiknya yang sudah rentang, mengharuskan dia menjadi seorang
pengemis.
Tiap harinya Sumiyati, tidur di pasar Bregharjo, bersama buruh gendong, dan
juga pengemis yang lain. Nenek yang mengemis sejak 5 tahun yang lalu, mengaku
bahwa sehari rata-rata dirinya hanya mendapat 6 ribu – 8 ribu, dan untuk makan
sehari-hari, dirinya hanya membeli nasi bungkusan seribuan.
Sumiyati,
“Saya ingin pemerintah adil dalam menangani masalah pengemis seperti saya, yang
saya tahu, bahwa tiap warga negara berhak untuk mendapatkan penghidupan
yang layak, namum pada kenyataannya saya sama sekali tidak medapat keadilan,
saya merasa sekarang hidup tidak adil, karena yang kaya semakin kaya, dan yang
miskin seperti saya semakin terpinggirkan”
Nenek asli Surabaya ini mengaku, bahwa dirinya Pernah sekali di razia, namun
dirinya sangat tidak betah tinggal di tempat rehabilitas, karena terlalu
banyak aturan, sedangkan saya ini sudah tua, saya ingin hidup tenang dan lebih
senang seperti sekaran ini”, tuturnya dengan pasrah.
Di tempat terpisah, Slamet kembali menjelaskan bahwa, Pemerintah juga mengalami
kegagalan dengan berbagai proyek-proyek yang seringkali atas nama rehabilitasi,
Sebagai contoh, pengalaman kawan-kawan saya yang sering terkena razia kemudian
dibawa ke panti sosial, bahkan mereka selau mengalami kekerasan fisik dan psikis,
mereka di panti sosial tidak ada pemberdayaan sama sekali, bahkan mengalami
nasib yang sangat menyedihkan dan diperlakukan sewenang-wenang, seperti saat di
panti sosial kawan-kawan dicampur dengan orang-orang yang mengalami
permasalahan dengan kegilaan.
Kalaupun ada rehabilitasi berupa pemberdayaan, hal ini banyak sisi kelemahannya
karena kawan-kawan setelah program pemberdayaan selesai maka urusan dinas
sosial pun selesai, mereka tetap dibiarkan dan tersingkir dari arena kompetisi
kerja. Indikator kegagalan program rehabilitasi yang lain bisa terlihat dari
pengemis jalanan yang sudah berkali-kali terkena razia, berkali-kali masuk
panti sosial namun mereka tetap kembali mencari rezeki di jalanan, bahkan
jumlah penduduk yang mengalami kemiskinan dan memilih mengais rezeki dari
jalanan semakin besar. Artinya, ini ada fakta-fakta yang seharusnya bisa
membuka mata para pejabat dan bisa berkoreksi !, tegasnya.
Namun di sisi lain, ketika masyarakat Jogja bicara soal pengemis, banyak
yang mengalami Pro dan Kontra atas keberadaan pengemis di kawasan Malioboro.
Sebut saja Bram, mahasiswa UMY ini menggagap bahwa, Saya merasa tidak begitu
terganggu dengan adanya pengemis di sekitar malioboro, karena saya merasa bahwa
mereka juga manusia, dan saya yakin bahwa mereka mengemis karena mereka tidak
punya pilihan lain. Mahasiswa yang akan merampungkan skipsinya ini
kembali menegaskan bahwa,
Seharusnya mereka di rehabilisasikan, di beri ketrampilan, dan lebih baik lagi
apabila mereka di beri pinjaman modal untuk buka usaha kecil-kecilan sesuai
dengan bakat mereka masing-masing, tegas Bram (24) Mahasiswa Universitas
Muhamadiyah Yogyakarta.
Pendapat lain, di tuturkan oleh Tutut (14) siswi SMP 1 Bangun Papan,
Jogja, “Sangat Terganggu!”, adalah jawaban pertama ketika di tanya soal
keberadaan pengemis di sekitar kawasan Malioboro. Saya di satu sisi kadang juga
kasihan, namun disisi lain saya sangat terganggu dengan keberadaan pengemis di
kawasan Malioboro, karena bagi saya malioboro merukapan salah satu icon objek
wisata kota
Jogja, yang harus di jaga kebersihannya!, tegasnya dengan wajah polos. “Menutut
saya, pemerintah DIY harus lebih tegas dalam menangani masalah pengemis, karena
bagaimanapun juga, ini sangat mengganggu ketenangan dan kenyamanan pengunjung,
tegasnya.
Sekilas kehidupan pengemis dan juga tanggapan dari masyarakat Jogja di atas.
Akankah Pemerintah DIY akan tinggal diam dalam menangani masalah ini? Kita
tunggu saja !!
Profil
Pengemis
KETIKA
PENGEMIS BERBICARA
Berita pendukung
Tua
dan Rentang, adalah kesan pertama ketika melihat sosok nenek tua, di
pojok trotoar Malioboro, Dengan wajah kusamnya, nenek tua itu duduk sambil
menunggu orang yang lalu-lalang, dan berharap memberinya uang. Sungguhkan ia
seorang pengemis atau perampok bertopeng pengemis ?, bagaimana ketika pengemis
itu bicara ?
Sumiyati ( 69 tahun ), di usianya yang telah senja, ia menjelaskan bahwa sebuah
keterpaksaan ketika dirinya menjadi pengemis, karena dirinya tak punya pilihan
lain selain menjadi seorang pengemis. Fisiknya yang sudah rentang, mengharuskan
dia menjadi seorang pengemis.
Nenek
asli Surabaya ini, mengaku bahwa dirinya sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi,
suaminya yang telah meninggal sejak tahun 2005 lalu, dan dirinya juga tidak
memiliki anak, bahkan sodara laki-laki satu-satunya pun telah meninggal sepuluh
tahun yang lalu.
Tiap harinya Sumiyati, tidur di pasar bregharjo, bersama buruh gendong, dan
juga pengemis yang lain. Nenek yang mengemis sejak 5 tahun yang lalu, mengaku
bahwa sehari rata-rata dirinya hanya mendapat 6 ribu – 8 ribu, dan untuk makan
sehari-hari, dirinya hanya membeli nasi bungkusan seribuan. Dirinya bersyukur,
tidak sakit-sakitan, walaupun dia harus kedinginan dan tidak memiliki apa-apa,
namum dia berusaha menjaga dirinya yang ringkih dengan sabuah selendang
pemberian orang pada saat hari raya idul fitri tahun lalu.
Nenek yang tiap harinya muali mangkal di tepi trotoar Malioboro ini
mengaku bahwa ia mulai mengemis dari jam 3 sore hingga 10 malam, namum bila
hari jumat, ia mulai mengemis dari jam 10 pagi hingga 5 sore.
Pernah sekali di razia, namun dirinya mengaku sangat tidak betah tinggal
di tempat rehabilitas, karena terlalu banyak aturan, sedangkan saya ini
sudah tua, saya ingin hidup tenang dan lebih senang seperti sekaran ini”,
tuturnya dengan pasrah.
Sumiyati, “saya ingin pemerintah adil dalam menangani masalah pengemis seperti
saya, yang saya tahu, bahwa tiap warga negara berhak untuk mendapatkan
penghidupan yang layak, namum pada kenyataannya saya sama sekali tidak medapat
keadilan, saya merasa sekarang hidup tidak adil, karena yang kaya semakin kaya,
dan yang miskin seperti saya semakin terpinggirkan”, katanya dengan
berlinangkan air mata.
“Bila melihat teman-teman yang lain, seperti buruh gendong di pasar Brengharjo,
saya juga merasa ingin seperti mereka, namun tubuh saya yang rentang tak
mungkin lagi mampu mengangkat beban berat seperti mereka, terangnya.
Saya juga merasa kasihan dengan teman-teman pengemis yang senasip dengan saya,
Jadi saya berharap, jangan ada lagi pengemis seperti saya, karena saya tidak
ingin ada orang lain yang merasakan penderitaan seperti saya sekarang ini .
Tegasnya dengan rauk muka penuh kesenduan.